Jumat, 01 April 2011

Filsafat Tentang Hakikat Alam


A.    Filsafat Tentang Hakikat Alam
Apakah Alam itu qadim (azali), ataukah muhdats (diciptakan dari ketiadaan)? Bagaimanakah alam diciptakan? Dari apakah alam diciptakan ?semuanya itu merupakan problema pokok yang dibahas para ulama ahli kalam. Kaum filosof berpegang pada pendapat yang mereka warisi dari orang Yunani: bahwa Alam adalah qadim (Azali). Ini dengan tegas dinyatakan Aristoteles, dan kurang tegas dinyatakan oleh Plato dan Plotinus. Menurut Plato, Alam memang qadim, tetapi Tuhanlah yang mengaturnya.[1]
Berbicara tentang hakikat alam ada beberapa argumen, salah satu diantaranya adalah argumen kosmologis. Argumen ini disebut juga argumen sebab-musabab, yang timbul dari paham bahwa alam adalah bersifat ( mumkin-contingent ) dan bukan bersifat wajib (wajib-necessary) dalam wujudnya. Dengan lain kata karena alam adalah alam yang dijadikan, maka mesti ada zat yang menjadikannya.
Argumen kosmologis ini adalah argumen yang tua sekali seperti halnya dengan argumen ontologis. Kalau argumen ontologis berasal dari Plato, maka argumen kosmologis berasal dari Aristoteles ( 384-322 SM ), murid Plato.[2]

Hakikat alam menurut pandangan Filosof-filosof Barat :
  1. Menurut Isaac Newton (1725 M).
Dari temuannya yang terkenal ”Mechanistic determinisme” atau hukum mekanik. Dengan ditemukannya hukum mekanik ini oleh Newton, maka tersibaklah rahasia kerja alam sehingga campur tangan Tuhan terhadap alam seperti yang dijelaskan oleh agama dipandang tidak begitu penting lagi.

Sejarah dan Sistem Pendidikan Madrasah Nizhamiyah

1.  Sejarah Madrasah Nizhamiah
     Salah satu jenis lembaga pendidikan tinggi yang muncul pada akhir abad IV hijriah adalah madrasah. Sedangkan Nizhamiyah adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan tahun 457-459 H/ 1065-1067 M (abad IV) oleh Nizam Al-Mulk dari dinasti Saljuk. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah yang pertama kali muncul dalam sejarah pendidikan islam yang berbentuk lembaga pendidikan dasar sampai perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah.[2]

Madrasah Nizhamiah di Baghdad terletak didekat sungai Dijlah di tengah-tengah pasar Salasah (Suq al-salasah) di Baghdad. Madrasah ini tetap hidup sampai pertengahan abad ke-14 M, yaitu ketika dikunjungi Ibnu Batutah. Ahmad Syalabi berkeyakinan bahwa pasar Al-Chaffafin yang terdapat di Baghdad saat ini adalah tempat dimana Madrasah Nizhamiyah dulunya berdiri. Adapun tujuan Pokok Nizam Al-Mulk mendirikan madrasah ini adalah:

  1. Mengkader calon-calon ulama yang menyebarkan pemikiran sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran syi'ah 
  2. Menyediakan guru-guru sunni yang cakap untuk mengajarkan mazhab sunni dan menyebarkannya ke tempat-tempat lain.  
  3. Membentuk kelompok pekerja sunni untuk berpartisifasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya khususnya dibidang peradilan dan manajemen.

Sistem Pendidikan Masa Bani Abbasiyyah

A. Latar Belakang
       Dinasti ini didirikan pada tahun 750 M/132 oleh Abdullah Al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al-Abbas, salah seorang keturunan  paman Nabi Muhammad, Al-Abbas. Asal usul Dinasti Abbasiyah diawali oleh pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan Abbas, paman nabi, yaitu Muhammad Ibn Ali, kemudian Ibrahim Ibn Muhammad sampai Abu Al-Abbas yang bergelar Al-Saffah, terhadap pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Pemberontakan-pemberontakan tersebut dilakukan secara terus menerus dan terorganisasi sehingga pada akhirnya terjadi revolusi menumbangkan Dinasti Bani Umayyah.[1] 
       Dalam ungkapan yang berbeda, Stephen Humphrey mengatakan bahwa berdirinya Dinasti Abbasiyah merupakan "titik balik paling menentukkan dalam sejarah Islam". Bahkan pada masa ini peradaban islam mencapai puncaknya. Dan salah satu wujud dari peradaban tersebut adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan , filsafat, dan ilmu-ilmu lainnya.  
Madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad ke-11-12 M (abad 5 H), khususnya ketika wazir Bani Saljuk , Nizam Al-Mulk mendirikan madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Walaupun bukan berarti ia orang pertama yang mendirikan madrasah, tetapi ia berjasa dalam mempopulerkan pendidikan madrasah bersamaan dengan reputasinya sebagai wazir. Disamping itu lembaga madrasah ini dianggap sebagai prototype awal pembangunan lembaga pendidikan tinggi setelahnya.
Untuk lebih jelas lagi penjelasan tentang dinasti Abbasiyah dan perkembangan ilmu pengetahuan serta sejarah dan sistem pendidikan Nizhamiyah berikut uraiannya.

 A. Sistem Pendidikan  pada masa Abbasiyah
Sejak lahirnya agama Islam, lahirlah pendidikan dan pengajaran Islam itu terus tumbuh dan berkembang pada masa khulafaurrasyidin  dan masa Umaiyah. Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negara Islam, sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar dari kota-kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan para pemuda berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, pergi ke pusat pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu.[2]
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat: 
  1. Tingkat sekolah rendah, yang diberi nama Kuttab Pada permulaan masa Abbasiyah dan abad-abad kemudiannya, bertambah banyak bilangan Kuttab dan para guru yang mengajar anak-anak. Kuttab biasanya di adakan di luar masjid, tetapi  terkadang di adakan pula didalam masjid, karena kekurangan tempat diluar masjid. Rencana pembelajaran Kuttab umumnya sebagai berikut:
  1. Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya
  2. Pokok-pokok agama Islam
  3. Menulis
  4. Kisah (riwayat) orang-orang besar Islam
  5. Membaca dan menghafal sya’ir-sya’ir
  6. Berhitung
  7. Pokok-pokok nahwu dan sharaf.
Waktu belajar pada Kuttab mulai pada pagi hari sabtu dan selesai pada ashar hari kamis, hari jum’at adalah waktu beristirahat. Selain itu juga ada waktu untuk beristirahat, sehari pada hari raya Idul Fitri dan tiga hari pada hari raya Idul Adha, terkadang bisa sampai lima hari.

 2. Tingkat sekolah menengah, yaitu sambungan pembelajaran dari Kuttab
     Rencana pembelajaran tingkat menengah tidak sama di seluruh negara Islam, 
     karena negara islam pada masa itu telah bercerai antara satu dengan yang lainnya.
     Umumnya rencana pengajaran itu sebagai berikut:
  1. Al-Qur’an
  2. Bahasa Arab dan kesastraannya
  3. Fiqih
  4. Tafsir
  5. Hadits
  6. Nahwu, sharaf, dan balaghoh
  7. Ilmu-ilmu pasti
  8. Mantiq
  9. FalakTarikh (sejarah)
  10. lmu-ilmu alam
  11. Kedokteran
  12.  Musik
 3. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan Daarul Ilmu di Mesir
     Rencana pembelajaran pada tingkat tinggi tidaklah sama di seluruh negara Islam. 
     Umumnya perguruan tinggi itu terdiri dari dua jurusan:
  1. Jurusan ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun menamai ilmu-ilmu tersebut  dengan Ilmu Naqliah. Adapun ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan Ilmu-ilmu Naqliah adalah sebagai berikut:
  1. Tafsir Al-Qur’an
  2. Hadits
  3. Fiqih dan Ushul Fiqih
  4. Nahwu atau Sharaf
  5. Balagah
  6. Bahasa Arab dan kesastraannya
    2. Jurusan ilmu-ilmu hikmah. Ibnu Khaldun menamai ilmu-ilmu tersebut dengan  Ilmu ‘Aqliah.
        Adapun ilmu-ilmu yang diajarakan pada jurusan ‘Aqliah adalah sebagai berikut:
  1. Mantiq
  2. Ilmu-ilmu alam dan Kimia
  3. Musik
  4. Ilmu-ilmu pasti
  5. Ilmu ukur
  6. Falak
  7. Ilahiyah (ketuhanan)
  8. Ilmu hewan
  9. Ilmu tumbuh-tumbuhan
  10. Kedokteran
Semua mata pelajaran itu diajarkan pada perguruan tinggi dan belum diadakan takhassus (spesialisasi) dalam satu mata pelajaran saja seperti sekarang. Takhasus hanya lahir kemudian sesudah tamat perguruan tinggi, yaitu menurut bakat dan kecenderungan para ulama itu sendiri, sesudah praktek  mengajar beberapa tahun lamanya.[3] 
 
 
 [1] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidkan Islam.... hlm
 [2] Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.Ag. Sejarah Pendidikan Islam, menelusuri Jejak
     sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia  (Jakarta: Kencana, 2009). Hlm 158
 [3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A (Ed). Sejarah Pendidikan Islam Pada periode
     Klasik dan Pertengahan .(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010), Cet.2. hlm:66