Jumat, 02 Desember 2011

GOlongan Mu'tazilah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.


B.   Asal – usul Kemunculan Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan – persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka  banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum rasional Islam.”[1] Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah  atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan
Golongan pertama muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[2]
Golongan kedua (selanjutnya disebut mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan muri’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
 Menurut Ahmad Amin, persamaan antara mu’tazilah awal dengan Mu’tazilah Washil adalah: bahwa mu’tazilah awal menjauhi pertikaian antara Ali dengan kelompok Zuber-Thalhah-Aisyah dan pertikaian antara Ali dengan Muawiyah, begitu pula Mu’tazilah Washil menjauhi pendapat yang bertikai di zamannya antara Khawarij dan Murji’ah Sementara Khawarij mengafirkan sang pelaku dosa besar dan Murji’ah memukminkannya, maka Mu’tazilah Washil tidak mengkafirkan dan tidak memukminkannya, tapi memasiqkannya; artinya: pelaku dosa besar, menurut pandangan Mu’tazilah Washil, tidak kafir dan tidak mukmin, tapi fasiq.[3]
Pemberian nama Mu’tazilah untuk Washil bin Atha’ dan pengikutnya, juga terdapat aneka ragam versi. Dalam tulisan al-Baghdadi diperoleh gambaran bahwa Washil bin Atha’ dan ‘Amru bin ‘Ubaid, yang biasa mengikuti majlis pengajian Hasan Bashri (21-110 H) di mesjid Bashrah, diusir oleh sang guru dari majlisnya, karena pertikaian sang murid dengan sang guru berkenaan dengan persoalan qadr dan persoalan orang yang berdosa besar. Dengan terjadinya pengusiran itu, Washil dan Amru menjauhkan diri dari sang guru; keduanya dan para pengikutnya disebutlah Mu’tazilah, karena mereka dianggap menjauhi faham umat Islam tentang persoalan orang yang berdosa besar.[4] Yang dimaksudkan dengan faham umat Islam adalah faham bahwa orang yang berdosa besar tetap masih mukmin (faham Murji’ah yang kemudian diambil oleh kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Dalam tulisan Syahristani tidak terdapat keterangan tentang pengusiran di atas, yang disebutkan adalah munculnya sebuah pertanyaan dari seseorang yang dihadapkan kepada Hasan Bashri dalam majlisnya, tentang orang yang melakukan dosa besar. Sementara Hasan Bashri masih berfikir, Washil menyatakan pendapatnya bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir, tapi berada pada posisi yang terletak di antara dua posisi (maksudnya berada pada posisi fasiq, yang terletak antara posisi mukmin dan posisi kafir); kemudian Washil berdiri dan menjauhkan diri ke suatu sudut mesjid dan disitu ia kembali menegaskan pendiriannya pada sejumlah orang yang berasal dari jamaah Hasan Bashri. Hasan Bashri, atas adanya peristiwa tersebut, berkata: “Washil memisahkan diri dari kita” اعتزل عنا واصل ; maka digelarilah Washil dan kelompoknya kaum Mu’tazilah.
Lain lagi gambaran yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah; dikatakannya bahwa pada suatu hari Qatadah bin Da’amah memasuki mesjid Bashrah dan memasuki majlis ‘Amru bin ‘Ubaid, yang disangkanya majlis Hasan Bashri; Qatadah, setelah menyadari bahwa majlis itu bukan majlis Hasan Bashri, segera berdiri dan meninggalkan majlis tersebut, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah”. Sejak itulah mereka disebut kaum Mu’tazilah.[5]
Sementara itu, Mas’udi tidak mengkaitkan pemberian nama Mu’tazilah dengan peristiwa perselisihan paham Washil atau Amru dengan Hasan Bashri. Washil dan para pengikutnya disebut Mu’tazilah karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh atau terpisah dari golongan mukmin dan kafir.
Tokoh yang pertama yang membangun aliran Mu’tazilah adalah Washil bin Atha’. Ia lahir di Medinah pada 80 H dan wafat di Bashrah pada tahun 131 H. Di Madinah ia belajar pada Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiyyah dan setelah hijrah ke Bashrah ia belajar pada Hasan Bashri.  Setelah memisahkan diri dari gurunya, Hasan Bashri, ia menjelma pula menjadi seorang tokoh yang sibuk memberikan pengajaran pada siang hari dan sangat banyak melakukan shalat serta menelaah/membaca al-Quran di malam hari; ia adalah seorang yang wara’, zuhud, dan bertaqwa kepada Allah; pengetahuan agamanya luas, kelancaran bicaranya sulit ditandingi, kemampuannya untuk berdebat sangat tinggi. Selain banyak melakukan perdebatan dengan kalangan non-muslim atau orang Islam sendiri yang tidak sepaham dengannya, ia giat sekali mengirim para da’i/muballigh ke berbagai penjuru dunia Islam waktu itu dalam rangka menyiarkan ajaran Islam atau membelanya dari serangan pihak non-muslim. 

C.  Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
1.         At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap madzhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena itu, hanya Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan)[6]
Untuk memurnikan keesaan tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan sifat-Nya. Wasil bin Atha’ seperti dikutip Asy-syahrastani mengatakan, “siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan”. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.  Apa yang disebut sebagai sifat menurut Mu’tazilah adalah dzat itu sendiri.
2.         Al-Adl
Ajaran dasar mu’tazilah  yang kedua adalah Al-Adl, yang berarti tuhan maha adil. Adil ini merupakan sifat yang paling mudah untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan maha sempurna, Dia sudah pasti adil.
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini :
a.         Perbuatan Manusia
Manusia menurut mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan,baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya: baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
b.        Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah wa al-ashla. Maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan Penjahat dan Penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika Tuhan berbuat jahat pada seseorang dan berbuat baik pada orang lain berarti Dia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak maha sempurna.
c.       Mengutus Rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini :
1)        Tuhan wajib berlaku baik pada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2)        Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia. (Q.S. Asy-syu’ara:29).
3)        Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersbut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus Rasul.

3.         Al-Wa’d wa al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua diatas. Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi).
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan: siapapun berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
4.      Al-Manzilah bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya madzhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik. Sedangkan Mur’jiah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut di ampuni Tuhan. Adapun pendapat Whasil Bin Atha’(pendiri madzhab Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada di antara dua posisi (Al-Manzilah bain al-manzilatain).karena ajaran inilah Washil Bin Atha’ dan sahabatnya Amir Bin Ubaid harus memisahkan diri (i’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al-Bashri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun madzhabnya[7].

5.        Al-Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran (Al-Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An Munkar). Ajaran ini memekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pegakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar yaitu berikut ini :
a.    Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
b.    Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c.    Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar.
d.   Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.[8]


Kesimpulan
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan – persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka  banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum rasional Islam.” Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah  atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan.
Lima ajaran dasar teologi mu’tazilah diantaranya : At-Tauhid, Al-Adl, Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman, Al-Manzilah bain al-manzilatain, dan Al-Amr Bi Al-Ma’ruf Wa An-Nahy An Munkar.




                              

[1] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta:UI-Press,2010),h. 40
[2] Nurchalis Madjid, Islam doktrin dan peradaban, (jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina,1995),h.17
[3] Amin, Ahmad, Fajr al-Islam (, Kairo, 1965), h.295
[4] Abd al-Qahir al- Baghdadi, Al-Farq Bain Al-Firaq, Kairo h. 118
[5]  Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta:UI-Press,2010), h. 37
[6] Abd Al-Jabbar Bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, (Kairo;Maktab Wahbah,1965),h.109.
[7] .Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam , (Bandung : Pustaka Setia, 2009), h.85
[8] Abd Al-Jabbar Bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, (Kairo;Maktab Wahbah,1965),h.142-143. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar