A. Latar Belakang
Pendidikan
merupakan proses pemberian pelajaran yang diterima oleh anak di dalam keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Peranan pendidikan dalam pembinaan kesehatan mental
bagi anak sangatlah dibutuhkan. Tujuan pendidikan dalam pembinaan kesehatan
mental anak tersebut dapat mempunyai jiwa yang tenang, dan penanamkan
sifat-sifat baik. Apabila di dalam pendidikan tidak adanya pembinaan mental,
maka anak tersebut selalu gelisah, terjadi kenakalan pada anak, dan sebagainya.
Oleh karena itu, pendidikan dalam sekolah, keluarga maupun masyarakat harus
dapat membina anak dari sejak dini agar terjadi ketenangan jiwa dan juga
keharmonisan.
1.
Bagaimana peran keluarga dalam pembinaan kesehatan mental ?
2.
Bagaiman peran sekolah dalam pembinaan kesehatan mental ?
A. Peran keluarga dalam pembinaan kesehatan mental
Keluarga
merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia.
Anggota-anggotanya terdiri dari atas ayah, ibu, dan anak. Bagi anak-anak,
keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya.[1]
Barangkali
sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa
bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal yaitu keluarga. Makanya,
tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki
anak-anak sebagian terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur
hingga saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dari pendidikan
keluarga.[2]
Kehidupan
keluarga pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.
Pembinaan nilai-nilai dan norma agama serta budaya.
2.
Memberikan dukungan afektif, berupa hubungan kehangatan, mengasihi dan
dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling menghargai,
dan lain-lain.
3.
Pengembangan pribadi, berupa
kemampuan mengendalikan diri baik fikiran maupun emosi, mengenal diri sendiri
maupun orang lain, pembentukan kepribadian, melaksanakan peran, fungsi dan
tanggung jawab sebagai anggota keluaraga, dan lain-lain.
4.
Penanaman kesadaran atas kewajiban, hak dan tanggung jawab individu
terhadap dirinya dan lingkungan sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku
di masyarakat.
Pencapaian
fungsi-fungsi keluarga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan
menjadi lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota
keluarga.[1]
Menurut Dadang
Hawari, anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan memiliki kepribadian
yang matang jika diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sehat dan
bahagia. Kepribadian menurut paham kesehatan jiwa adalah segala kebiasaan
manusia terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi serta
menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan, baik yang timbul dari
lingkungannya (dunia luar) maupun yang datang dari dirinya sendiri (dunia
dalam), sehingga corak dan kebiasaan merupakan satu kesatuan fungsional yang
khas untuk individu itu.[2]
Keadaan atau
suasana keluarga sangat mempengaruhi perkembangan anak. Keadaan orang tua,
sikapnya terhadap anak sebelum dan sesudah anak lahir, ada pengaruhnya terhadap
kesehatan mental bagi anak. Contohnya:
Seorang anak laki-laki berumur 12 tahun, badannya cukup sehat,
rupanya menarik, orang tuanya sangat mencintainya dan sangat memperhatikan
pendidikannya. Tapi, ibu dan bapaknya sangat gelisah melihat anaknya yang
terlihat kurang pandai tidak seperti yang mereka harapkan. Reaksi si anak
terhadap pelajaran agak lamban, disamping itu sia anak
mudah tersinggung dan mudah bosan. Maka orang tua itu sering memeriksakan
anaknya ke dokter untuk minta di tes jiwanya. Dari penelitian terbukti, bahwa
sebenarnya si anak cukup cerdas dan mau belajar, hanya saja dia cukup gelisah
sehingga tidak dapat memusatkan perhatiannya waktu belajar dan ia lebih suka
menunggu perintah ibunya saja. Pada permulaan, mereka belum ingin mempunyai
anak dan selalu ingin bekerja tanpa ada gangguan. Akan tetapi, usaha mereka
tidak berhasil, hanya takdir Tuhan juga yang berlaku dan hamillah si ibu. Ibu
dan bapak merasa kecewa, keinginan untuk menunda punya anak rupanya tidak
terkabul dan lahirlah anak dalam keadaan yang tidak disambut oleh kedua orang
tuanya. Setelah beberapa hari anak itu lahir, kebencian dan ketidaksenangan
mempunyai anak itu berangsur-angsur hilang. Ibu dan bapak merasa berdosa dan
bersalah terhadap si anak, merasa telah menyiksanya selama dalam kandungan dan
hari-hari pertama dari lahirnya. Karena rasa bersalah dan berdosa itu, mereka
ingin menebus kesalahan itu dengan sangat memperhatikan si anak, sehingga si
anak dididik dan diperlakukan menurut teori-teori pendididikan yang mereka
ketahui. Perlakuan dan pendidikan yang diberikan memang baik, akan tetapi kedua
ibu bapak teringat akan dosanya terhadap si anak. Setiap kali mereka berhadapan
dengan anak, timbullah ketegangan batin. Si anak menjadi perhatian dan tumpahan
dari emosi orang tuanya, dari rasa benci kemudian berubah menjadi sayang yang
berlebihan, di samping kekhawatiran akan bahaya mental yang dialami oleh
anaknya itu.[3]
Dalam contoh
ini, adanya pengaruh sikap jiwa orang tua dalam menyambut kelahiran anak yang kemudian mempengaruhi kesehatan mental
bagi anaknya. Hubungan antara ibu dan bapak haruslah baik, dimana terdapat
saling perhatian, saling menghargai, dan saling mencintai.
Di samping si anak merasa disayangi, ia juga harus merasakan bahwa
tidak ada yang menakutkan atau membingungkan dalam keluarga, seperti orang tua
yang sering berkelahi yang menyebabkan si ank tidak merasakan ketenangan dalam
rumah atau keluarga itu. Ia bingung ke manakah dia harus berpihak, kepada ibu
atau bapak? Ia merasa tidak tentram dalam gelombang panas yang sering melanda
suasana ibu dan bapaknya. Anak-anak yang melihat dan mengetahui bahwa orang
tuanya sering bertengkar atau tidak cocok sikapnya, akan merasa sedih, hilang
nafsu makan, bahkan mungkin sering sakit.[4]
Dalam
perlakuan orang tua terhadap anaknya, harus dijaga dan diperhatikan
kebutuhan-kebutuhan si anak dalam hidup pada umumnya, mulai dari
kebutuhan-kebutuhan pokok sampai kebutuhan-kebutuhan jiwa dan sosial yang perlu
hidup. Kebutuhan-kebutuhan jiwa itu seperti:
1.
Kebutuhan akan rasa kasih sayang
Kasih
sayang tidak akan dirasakan oleh si anak apabila dalam hidupnya mengalami
hal-hal sebagai berikut :
a.
Kehilangan pemeliharaan ibu
Anak-anak
sangat membutuhkan pemeliharaan langsung dari ibunya, akan tetapi tidak semua
ibu, dapat memberikan pemeliharaan kepada si anak karena berbagai alasan dan
sebab. Namun bagaimanpun alasan dan sebab tersebut, akan berakibat tidak baik
terhadap pertumbuhannya baik fisik, perasaan, kecerdasaan, atau sosial.
Kesehatan mungkin terganggu dan pertumbuhan kepribadiannya akan mengalami
kegoncangan yang akibatnya akan tetap terasa sampai ia dewasa, bahkan seumur
hidupnya.
b.
Si anak merasa tidak diperhatikan atau kurang disayangi.
Banyak
sebab-sebab yang membawa si anak kepada perasaan bahwa ia tidak disenangi atau
tidak diperhatikan antara lain: mengabaikan pemeliharaan anak, sering berpisah
dengan ibu, mengacamkan dengan hukuman, terlalu banyak peringtan dan nasehat
terhadap si anak, menghina atau mengolok-olokan si anak dengan bermacam-macam
cara, ibu yang suka marah atau menggerutu waktu menolong si anak, dan kurang
memperhatikan keadaan si anak. Akibat yang mungkin terjadi pada anak-anak, apabila
ia kurang disayang atau kurang diperhatikan itu banyak sekali, antara lain akan
terganggu kesehatan mentalnya.
c.
Toleransi orang tua yang berlebihan
Toleransi
yang berlebih-lebihan terhadap anak juga mempunyai pengaruh tidak baik bagi
pertumbuhannya. Akibat yang tidak baik dari toleransi yang berlebihan bagi anak
itu antara lain: emosi yang tidak matang.
d.
Orang tua yang terlalu keras
Terlalu
banyak perintah, larangan, teguran dan tidak mengindahkan keinginan si anak,
banyak pula menyebabkan gangguan terhadap ketegangan si anak. Ia tidak sanggup
mengeluarkan pendapat, kadang-kadang terlalu sopan dan tunduk kepada orang yang
berkuasa, kurang mempunyai inisiatif dan spontanitas, tidak percaya diri, dan
tidak dapat mengisi waktu luang.
e.
Orang tua yang terlalu ambisius
Kadang-kadang
orang tua karena ambisi atau keinginannya yang berlebih-lebihan sering
mendorong anaknya untuk melakukan sesuatu yang di luar batas kemampuannya.
Tindakan seperti ini akan menyebabkan si anak tidak mau bertanggungjawab dan
sering gagal. Kegagalan ini sangat berbahaya, ia akan merasa rendah diri,
apatis dan sebagainya.
f.
Sikap orang tua yang berlawanan
Apabila
pendapat orang tua dalam mendidik si anak tidak sejalan, akan menyebabkan si
anak kebingungan dan merasa tidak aman. Hal ini tidak baik bagi pertumbuhannya.
Apabila perbedaan pendapat antara orang tua itu sangat besar, hal ini akan
membawa kegoncangan jiwa pula, karena si anak akan terombang-ambing di antara
dua kekuatan yang bertentangan dan dia merasa menjadi objek dari dua aliran
yang berlawanan itu.
2.
Kebutuhan akan rasa aman
Unsur-unsur
pokok dalam rasa aman itu adalah kasih sayang, ketentraman dan penerimaan. Maka
anak yang merasa sungguh-sungguh dicintai oleh orang tua dan keluarganya pada
umumnya akan merasa bahagia dan aman. Namun kehilangan rasa aman terutama pada
masa kanak-kanak akan membawa pengaruh sepanjang hidup.
3.
Kebutuhan akan harga diri
Baik
olok-olok dalam bentuk apapun, maupun hukuman-hukuman, perintah-perintah,
larangan-larangan dan janji-janji akan menghukum tanpa ada alasan yang wajar
dan masuk akal, serta setiap tindakan orang tua yang selalu menunjukan
kekuasaan dan kebesaran akan menyebabkan si anak tidak dihargai. Akibat dari
hilangnya rasa harga diri itu, ialah antara lain merasa rendah diri, tidak
berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah dan sebagainya.
4.
Kebutuhan akan rasa kebebasan
Kebebasan
di sini bukan kebebasan yang tidak mengenal batas, tapi kebebasan di sini
maksudnya adalah kebebasan dalam batas-batas kewajaran. Hal-hal ini yang
menyebabkan anak-anak merasa tidak bebas adalah pertanyaan-pertanyaan tentang
pergi-pulangnya, kawan-kawannya, cara membelanjakan uangnya dan sebagainya.
5.
Kebutuhan akan mengenal
Sering
kita lihat anak-anak berusaha memegang sesuatu dengan tangannya sambil
memeriksa dan melihat-melihat dengan matanya. Tindakan seperti ini sebenarnya
adalah usaha dari anak untuk mengetahui barang-barang yang baru dalam
lingkungannya. Peranan orang tua dalam memimpin anak-ank itu sangat penting.[5]
B. Peran sekolah terhadap pembinaan kesehatan mental
Sekolah adalah
lingkungan kedua tempat anak-anak berlatih dan
menumbuhkan kepribadiaanya. Sekolah bukanlah tempat untuk menuangkan ilmu
pengetahuan ke otak murid, tetapi sekolah juga mendidik dan membina kepribadian
si anak. Karena itu, sudah menjadi kewajiban sekolah untuk membimbing si anak
dalam menyelesaikan dan menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup.
Pendidikan dan
pembinaan kepribadian anak-anak yang telah dimulai dari keluarga harus dapat
dilanjutkan dan disempurnakan di sekolah.
Guru yang
dianggap berhasil adalah guru yang tidak hanya membekali muridnya dengan
pengetahuan dan pengalaman saja, tetapi juga membekalinya dengan kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial serta dapat mengelola emosinya
secara baik.[6]
Sebenarnya tugas sekolah dalam menciptakan mental yang sehat bagi anak-anak
cukup sulit. Anak yang kelihatan bodoh, pemalas, suka menggangu kawan-kawannya,
tidak mau tunduk kepada peraturan-peraturan sekolah dan sebagainya. Anak
seperti itu janganlah dimarahi dan dihukum tetapi usahakan memahaminya dan
menolongnya untuk menyesuaikan diri serta menyelidiki apa yang terjadi di
rumahnya.
Apabila si anak
telah meningkat usia remaja, guru dan orang tua juga harus membantu si anak
untuk menghadapi kesukaran-kesukaran pribadinya. Pada fase peralihan dari anak-anak
menjadi remaja, ia agak malas, perhatiannya berubah dan gelisah melihat
perubahan-perubahan dirinya secara fisik. Di samping persoalan pertumbuhan
fisik yang dialami oleh anak-anak yang meuju remaja itu, banyak pula
problem-problem lain yang waktu ia kecil belum terasa. Ada problem yang
berhubungan dengan pelajaran, cara belajar dan menghadapi ujian,
persoalan-persoalan hari demi haripun tidak mengambil perhatian mereka, yang
terpenting adalah persoalan-persoalan seksual. Jika penjelasan dari
persoalan-persoalan tentang hal-hal tersebut tidak didapat dari orang tua, maka
seharusnya sekolah dapt menolong anak-anak dalam menyelesaikannya.
Pada masa
remaja, seorang anak mengalami kegoncangan jiwa. Dalam periode ini, mereka
digelisahkan oleh perasaan-perasaan yang ingin melawan atau menentang oarang tua.
Kadang-kadang merasa mulai timbulnya dorongan-dorongan seks yang belum mereka
kenal sebelumnya. Di samping itu, mungkin mereka gelisah karena takut akan
gagal, akan kurang serasi dalam pertumbuhannya, dan sebagainya. Segala macam
gelombang itu akan menyebabkan mereka menderita dan kebingungan. Dalam keadaan
ini, agama dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan penolong yang sangat ampuh
untuk mengembalikan ketenangan jiwanya.[7]
Ada beberapa peranan
pendidikan agama dalam kesehatan mental, antara lain:
a. Dengan Agama, dapat Memberikan Bimbingan dalam
Hidup
Ajaran agama yang ditanamkan sejak kecil kepada
anak-anak dapat membentuk kepribadian yang islami. Anak akan mampu
mengendalikan keinginan-keinginan dan terbentuk sesuatu kepribadian yang harmonis maka ia mampu menghadapi
dorongan yang bersifat fisik dan rohani atau sosial, sehingga ia dapat bersikap
wajar tenang dan tidak melanggar hokum dan peraturan masyarakat.
b. Ajaran Agama sebagai Penolong dalam Kesukaran
Hidup
Setiap orang pasti pernah merasakan kekecewaan,
sehingga bila ia tidak berpengang teguh pada ajaran agama dia akan memiliki perasaan rendah diri, apatis,
pesimis, dan merasakan kegelisahan. Bagi orang yang berpengang teguh pada agama
bila mengalami kekecewaan ia tidak akan merasa putus asa tetapi ia
menghadapinya dengan tenang dan tabah. Ia segera mengigat Tuhan sehingga ia dapat
menemukan factor-faktor yang menyebabkan kekecewaan. Dengan demikian, ia
terhindar dari gangguan jiwa.
c. Aturan Agama dapat Menentramkan Batin
Agama dapat memberi jalan penenang hati bagi
jiwa yang sedang gelisah. Banyak orang yang tidak menjalankan perintah agama,
selalu merasa gelisah dalam hidupnya tetapi setelah menjalankan
agama ia mendapat ketenangan hati. Seseorang yang telah mendapat kesuksesan
terkadang melupakan agama. Ia terhanyut dalam harta yang berlimpah. Bahkan ia
berusaha terus mencari harta yang dapat membuat dirinya bahagia. Namun, jauh
dalam lubuk hatinya, ia merasa hampa. Hatinya gersang dan tidak pernah tentram.
Kemudian ia merenungkan diri merasa bahkan hartanya tidak dapat memberinya
ketenangan batin.
d. Ajaran Agama sebagai pengendali Moral
Moral adalah kelakuan yang sangat sesuai dengan
ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan disertai pula
oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan tersebut).
e. Agama dapat Menjadi Therapi Jiwa
Agama dapat membendung dan menghindarkan
gangguan jiwa. Sikap, perasaan, dan kelakuan yang menyebabkan kegelisahan akan
dapat diatasi bila manusia menyesali perbuatannya dan memohon
sehingga tercapailah kerukunan hidup dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
f. Peranan Agama bagi Pembinaan mental
Unsur-unsur yang terpenting dalam menentukan
corak kepribadian seseorang adalah nilai-nilai agama moral dan sosial
(lingkungan) yang diperolehnya. Jika di masa kecil mereka memproleh
pemahaman mengenai nilai-nilai agama, maka kepribadian mereka akan mempunyai
unsur-unsur yang baik. Nilai agama akan tetap dan tidak berubah-ubah, sedangkan
nilai-nilai sosial dan moral sering mengalami perubahan, sesuai dengan
perubahan perkembangan masyarakat. Imam akan sifat-sifat Tuhan Maha Kuasa dan
Maha Pelindung sangat diperlukan oleh setiap manusia. Karena setiap orang
memerlukan rasa aman dan tidak terancam oleh bahaya, musuh, mala petaka dan
berbagai gangguan terhadap keselamatan dirinya.[8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar