Senin, 01 Oktober 2012

Peran keluarga dalam kesehatan Mental



      A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan proses pemberian pelajaran yang diterima oleh anak di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Peranan pendidikan dalam pembinaan kesehatan mental bagi anak sangatlah dibutuhkan. Tujuan pendidikan dalam pembinaan kesehatan mental anak tersebut dapat mempunyai jiwa yang tenang, dan penanamkan sifat-sifat baik. Apabila di dalam pendidikan tidak adanya pembinaan mental, maka anak tersebut selalu gelisah, terjadi kenakalan pada anak, dan sebagainya. Oleh karena itu, pendidikan dalam sekolah, keluarga maupun masyarakat harus dapat membina anak dari sejak dini agar terjadi ketenangan jiwa dan juga keharmonisan.
 
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran keluarga dalam pembinaan kesehatan mental ?
2.      Bagaiman peran sekolah dalam pembinaan kesehatan mental ?

  A. Peran keluarga dalam pembinaan kesehatan mental
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri dari atas ayah, ibu, dan anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya.[1] 
Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal yaitu keluarga. Makanya, tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dari pendidikan keluarga.[2] 

Kehidupan keluarga pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.      Pembinaan nilai-nilai dan norma agama serta budaya.
2.      Memberikan dukungan afektif, berupa hubungan kehangatan, mengasihi dan dikasihi, mempedulikan dan dipedulikan, memberikan motivasi, saling menghargai, dan lain-lain.
3.       Pengembangan pribadi, berupa kemampuan mengendalikan diri baik fikiran maupun emosi, mengenal diri sendiri maupun orang lain, pembentukan kepribadian, melaksanakan peran, fungsi dan tanggung jawab sebagai anggota keluaraga, dan lain-lain.
4.      Penanaman kesadaran atas kewajiban, hak dan tanggung jawab individu terhadap dirinya dan lingkungan sesuai ketentuan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Pencapaian fungsi-fungsi keluarga ini akan membentuk suatu komunitas yang berkualitas dan menjadi lingkungan yang kondusif untuk pengembangan potensi setiap anggota keluarga.[1]
Menurut Dadang Hawari, anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan memiliki kepribadian yang matang jika diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sehat dan bahagia. Kepribadian menurut paham kesehatan jiwa adalah segala kebiasaan manusia terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan, baik yang timbul dari lingkungannya (dunia luar) maupun yang datang dari dirinya sendiri (dunia dalam), sehingga corak dan kebiasaan merupakan satu kesatuan fungsional yang khas untuk individu itu.[2]

Keadaan atau suasana keluarga sangat mempengaruhi perkembangan anak. Keadaan orang tua, sikapnya terhadap anak sebelum dan sesudah anak lahir, ada pengaruhnya terhadap kesehatan mental bagi anak. Contohnya:
Seorang anak laki-laki berumur 12 tahun, badannya cukup sehat, rupanya menarik, orang tuanya sangat mencintainya dan sangat memperhatikan pendidikannya. Tapi, ibu dan bapaknya sangat gelisah melihat anaknya yang terlihat kurang pandai tidak seperti yang mereka harapkan. Reaksi si anak terhadap pelajaran agak lamban, disamping itu sia anak mudah tersinggung dan mudah bosan. Maka orang tua itu sering memeriksakan anaknya ke dokter untuk minta di tes jiwanya. Dari penelitian terbukti, bahwa sebenarnya si anak cukup cerdas dan mau belajar, hanya saja dia cukup gelisah sehingga tidak dapat memusatkan perhatiannya waktu belajar dan ia lebih suka menunggu perintah ibunya saja. Pada permulaan, mereka belum ingin mempunyai anak dan selalu ingin bekerja tanpa ada gangguan. Akan tetapi, usaha mereka tidak berhasil, hanya takdir Tuhan juga yang berlaku dan hamillah si ibu. Ibu dan bapak merasa kecewa, keinginan untuk menunda punya anak rupanya tidak terkabul dan lahirlah anak dalam keadaan yang tidak disambut oleh kedua orang tuanya. Setelah beberapa hari anak itu lahir, kebencian dan ketidaksenangan mempunyai anak itu berangsur-angsur hilang. Ibu dan bapak merasa berdosa dan bersalah terhadap si anak, merasa telah menyiksanya selama dalam kandungan dan hari-hari pertama dari lahirnya. Karena rasa bersalah dan berdosa itu, mereka ingin menebus kesalahan itu dengan sangat memperhatikan si anak, sehingga si anak dididik dan diperlakukan menurut teori-teori pendididikan yang mereka ketahui. Perlakuan dan pendidikan yang diberikan memang baik, akan tetapi kedua ibu bapak teringat akan dosanya terhadap si anak. Setiap kali mereka berhadapan dengan anak, timbullah ketegangan batin. Si anak menjadi perhatian dan tumpahan dari emosi orang tuanya, dari rasa benci kemudian berubah menjadi sayang yang berlebihan, di samping kekhawatiran akan bahaya mental yang dialami oleh anaknya itu.[3]
Dalam contoh ini, adanya pengaruh sikap jiwa orang tua dalam menyambut kelahiran anak  yang kemudian mempengaruhi kesehatan mental bagi anaknya. Hubungan antara ibu dan bapak haruslah baik, dimana terdapat saling perhatian, saling menghargai, dan saling mencintai.
Di samping si anak merasa disayangi, ia juga harus merasakan bahwa tidak ada yang menakutkan atau membingungkan dalam keluarga, seperti orang tua yang sering berkelahi yang menyebabkan si ank tidak merasakan ketenangan dalam rumah atau keluarga itu. Ia bingung ke manakah dia harus berpihak, kepada ibu atau bapak? Ia merasa tidak tentram dalam gelombang panas yang sering melanda suasana ibu dan bapaknya. Anak-anak yang melihat dan mengetahui bahwa orang tuanya sering bertengkar atau tidak cocok sikapnya, akan merasa sedih, hilang nafsu makan, bahkan mungkin sering sakit.[4]
                        Dalam perlakuan orang tua terhadap anaknya, harus dijaga dan diperhatikan kebutuhan-kebutuhan si anak dalam hidup pada umumnya, mulai dari kebutuhan-kebutuhan pokok sampai kebutuhan-kebutuhan jiwa dan sosial yang perlu hidup. Kebutuhan-kebutuhan jiwa itu seperti:
1.      Kebutuhan akan rasa kasih sayang
Kasih sayang tidak akan dirasakan oleh si anak apabila dalam hidupnya mengalami hal-hal sebagai berikut :
a.       Kehilangan pemeliharaan ibu
Anak-anak sangat membutuhkan pemeliharaan langsung dari ibunya, akan tetapi tidak semua ibu, dapat memberikan pemeliharaan kepada si anak karena berbagai alasan dan sebab. Namun bagaimanpun alasan dan sebab tersebut, akan berakibat tidak baik terhadap pertumbuhannya baik fisik, perasaan, kecerdasaan, atau sosial. Kesehatan mungkin terganggu dan pertumbuhan kepribadiannya akan mengalami kegoncangan yang akibatnya akan tetap terasa sampai ia dewasa, bahkan seumur hidupnya.
b.      Si anak merasa tidak diperhatikan atau kurang disayangi.
Banyak sebab-sebab yang membawa si anak kepada perasaan bahwa ia tidak disenangi atau tidak diperhatikan antara lain: mengabaikan pemeliharaan anak, sering berpisah dengan ibu, mengacamkan dengan hukuman, terlalu banyak peringtan dan nasehat terhadap si anak, menghina atau mengolok-olokan si anak dengan bermacam-macam cara, ibu yang suka marah atau menggerutu waktu menolong si anak, dan kurang memperhatikan keadaan si anak. Akibat yang mungkin terjadi pada anak-anak, apabila ia kurang disayang atau kurang diperhatikan itu banyak sekali, antara lain akan terganggu kesehatan mentalnya.
c.       Toleransi orang tua yang berlebihan
Toleransi yang berlebih-lebihan terhadap anak juga mempunyai pengaruh tidak baik bagi pertumbuhannya. Akibat yang tidak baik dari toleransi yang berlebihan bagi anak itu antara lain: emosi yang tidak matang.
d.      Orang tua yang terlalu keras
Terlalu banyak perintah, larangan, teguran dan tidak mengindahkan keinginan si anak, banyak pula menyebabkan gangguan terhadap ketegangan si anak. Ia tidak sanggup mengeluarkan pendapat, kadang-kadang terlalu sopan dan tunduk kepada orang yang berkuasa, kurang mempunyai inisiatif dan spontanitas, tidak percaya diri, dan tidak dapat mengisi waktu luang.
e.       Orang tua yang terlalu ambisius
Kadang-kadang orang tua karena ambisi atau keinginannya yang berlebih-lebihan sering mendorong anaknya untuk melakukan sesuatu yang di luar batas kemampuannya. Tindakan seperti ini akan menyebabkan si anak tidak mau bertanggungjawab dan sering gagal. Kegagalan ini sangat berbahaya, ia akan merasa rendah diri, apatis dan sebagainya.
f.       Sikap orang tua yang berlawanan
Apabila pendapat orang tua dalam mendidik si anak tidak sejalan, akan menyebabkan si anak kebingungan dan merasa tidak aman. Hal ini tidak baik bagi pertumbuhannya. Apabila perbedaan pendapat antara orang tua itu sangat besar, hal ini akan membawa kegoncangan jiwa pula, karena si anak akan terombang-ambing di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dia merasa menjadi objek dari dua aliran yang berlawanan itu.
2.      Kebutuhan akan rasa aman
Unsur-unsur pokok dalam rasa aman itu adalah kasih sayang, ketentraman dan penerimaan. Maka anak yang merasa sungguh-sungguh dicintai oleh orang tua dan keluarganya pada umumnya akan merasa bahagia dan aman. Namun kehilangan rasa aman terutama pada masa kanak-kanak akan membawa pengaruh sepanjang hidup.
3.      Kebutuhan akan harga diri
Baik olok-olok dalam bentuk apapun, maupun hukuman-hukuman, perintah-perintah, larangan-larangan dan janji-janji akan menghukum tanpa ada alasan yang wajar dan masuk akal, serta setiap tindakan orang tua yang selalu menunjukan kekuasaan dan kebesaran akan menyebabkan si anak tidak dihargai. Akibat dari hilangnya rasa harga diri itu, ialah antara lain merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah dan sebagainya.
4.      Kebutuhan akan rasa kebebasan
Kebebasan di sini bukan kebebasan yang tidak mengenal batas, tapi kebebasan di sini maksudnya adalah kebebasan dalam batas-batas kewajaran. Hal-hal ini yang menyebabkan anak-anak merasa tidak bebas adalah pertanyaan-pertanyaan tentang pergi-pulangnya, kawan-kawannya, cara membelanjakan uangnya dan sebagainya.
5.      Kebutuhan akan mengenal
Sering kita lihat anak-anak berusaha memegang sesuatu dengan tangannya sambil memeriksa dan melihat-melihat dengan matanya. Tindakan seperti ini sebenarnya adalah usaha dari anak untuk mengetahui barang-barang yang baru dalam lingkungannya. Peranan orang tua dalam memimpin anak-ank itu sangat penting.[5]
       
     B. Peran sekolah terhadap pembinaan kesehatan mental
Sekolah adalah lingkungan kedua tempat anak-anak berlatih dan menumbuhkan kepribadiaanya. Sekolah bukanlah tempat untuk menuangkan ilmu pengetahuan ke otak murid, tetapi sekolah juga mendidik dan membina kepribadian si anak. Karena itu, sudah menjadi kewajiban sekolah untuk membimbing si anak dalam menyelesaikan dan menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup.
Pendidikan dan pembinaan kepribadian anak-anak yang telah dimulai dari keluarga harus dapat dilanjutkan dan disempurnakan di sekolah.
Guru yang dianggap berhasil adalah guru yang tidak hanya membekali muridnya dengan pengetahuan dan pengalaman saja, tetapi juga membekalinya dengan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial serta dapat mengelola emosinya secara baik.[6] Sebenarnya tugas sekolah dalam menciptakan mental yang sehat bagi anak-anak cukup sulit. Anak yang kelihatan bodoh, pemalas, suka menggangu kawan-kawannya, tidak mau tunduk kepada peraturan-peraturan sekolah dan sebagainya. Anak seperti itu janganlah dimarahi dan dihukum tetapi usahakan memahaminya dan menolongnya untuk menyesuaikan diri serta menyelidiki apa yang terjadi di rumahnya.
Apabila si anak telah meningkat usia remaja, guru dan orang tua juga harus membantu si anak untuk menghadapi kesukaran-kesukaran pribadinya. Pada fase peralihan dari anak-anak menjadi remaja, ia agak malas, perhatiannya berubah dan gelisah melihat perubahan-perubahan dirinya secara fisik. Di samping persoalan pertumbuhan fisik yang dialami oleh anak-anak yang meuju remaja itu, banyak pula problem-problem lain yang waktu ia kecil belum terasa. Ada problem yang berhubungan dengan pelajaran, cara belajar dan menghadapi ujian, persoalan-persoalan hari demi haripun tidak mengambil perhatian mereka, yang terpenting adalah persoalan-persoalan seksual. Jika penjelasan dari persoalan-persoalan tentang hal-hal tersebut tidak didapat dari orang tua, maka seharusnya sekolah dapt menolong anak-anak dalam menyelesaikannya.
Pada masa remaja, seorang anak mengalami kegoncangan jiwa. Dalam periode ini, mereka digelisahkan oleh perasaan-perasaan yang ingin melawan atau menentang oarang tua. Kadang-kadang merasa mulai timbulnya dorongan-dorongan seks yang belum mereka kenal sebelumnya. Di samping itu, mungkin mereka gelisah karena takut akan gagal, akan kurang serasi dalam pertumbuhannya, dan sebagainya. Segala macam gelombang itu akan menyebabkan mereka menderita dan kebingungan. Dalam keadaan ini, agama dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan penolong yang sangat ampuh untuk mengembalikan ketenangan jiwanya.[7]
Ada beberapa peranan pendidikan agama dalam kesehatan mental, antara lain:
a.       Dengan Agama, dapat Memberikan Bimbingan dalam Hidup
Ajaran agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak dapat membentuk kepribadian yang islami. Anak akan mampu mengendalikan keinginan-keinginan dan terbentuk sesuatu kepribadian yang harmonis maka ia mampu menghadapi dorongan yang bersifat fisik dan rohani atau sosial, sehingga ia dapat  bersikap wajar tenang dan tidak melanggar hokum dan peraturan masyarakat.
b.      Ajaran Agama sebagai Penolong dalam Kesukaran Hidup
Setiap orang pasti pernah merasakan kekecewaan, sehingga bila ia tidak berpengang teguh pada ajaran agama dia akan memiliki perasaan rendah diri, apatis, pesimis, dan merasakan kegelisahan. Bagi orang yang berpengang  teguh pada agama bila mengalami kekecewaan ia tidak akan merasa putus asa tetapi ia menghadapinya dengan tenang dan tabah. Ia segera mengigat Tuhan sehingga ia dapat menemukan factor-faktor yang menyebabkan kekecewaan. Dengan demikian, ia terhindar dari gangguan jiwa.
c.       Aturan Agama dapat Menentramkan Batin
Agama dapat memberi jalan penenang hati bagi jiwa yang sedang gelisah. Banyak orang yang tidak menjalankan perintah agama, selalu merasa gelisah dalam hidupnya  tetapi setelah menjalankan agama ia mendapat ketenangan hati. Seseorang yang telah mendapat kesuksesan terkadang melupakan agama. Ia terhanyut dalam harta yang berlimpah. Bahkan ia berusaha terus mencari harta yang dapat membuat dirinya bahagia. Namun, jauh dalam lubuk hatinya, ia merasa hampa. Hatinya gersang dan tidak pernah tentram. Kemudian ia merenungkan diri merasa bahkan hartanya tidak dapat memberinya ketenangan batin.
d.      Ajaran Agama sebagai pengendali Moral
Moral adalah kelakuan yang sangat sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan tersebut).
e.       Agama dapat Menjadi Therapi Jiwa
Agama dapat membendung dan menghindarkan gangguan jiwa. Sikap, perasaan, dan kelakuan yang menyebabkan kegelisahan akan dapat diatasi bila manusia  menyesali perbuatannya dan memohon sehingga tercapailah kerukunan hidup dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
f.       Peranan Agama bagi Pembinaan mental
Unsur-unsur yang terpenting dalam menentukan corak kepribadian seseorang adalah nilai-nilai agama moral dan sosial (lingkungan) yang diperolehnya. Jika di masa kecil mereka memproleh pemahaman mengenai nilai-nilai agama, maka kepribadian mereka akan mempunyai unsur-unsur yang baik. Nilai agama akan tetap dan tidak berubah-ubah, sedangkan nilai-nilai sosial dan moral sering mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan perkembangan masyarakat. Imam akan sifat-sifat Tuhan Maha Kuasa dan Maha Pelindung sangat diperlukan oleh setiap manusia. Karena setiap orang memerlukan rasa aman dan tidak terancam oleh bahaya, musuh, mala petaka dan berbagai gangguan terhadap keselamatan dirinya.[8]

    


[1](http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.aspvnomor=16&mnorutisi=10)
 [2]Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), h.173.
[3] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), h.66
 [4] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), h.70.
 [5] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), h.76.
 [6] Mustafa Fahmi, Kesehatan Mental dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.180.
 [7] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), h.73.
 [8] Yusak Burhanudin, Kesehatan Mental, (Bandung: Pustaka Islam, 1999), h.105



 [1]Aat Syafaat,dkk, Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Mencegah Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 2008), h. 164. 
 [2]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h291. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar