Sabtu, 12 Mei 2012

pengertian Al-Jarh wa at-ta'dil

A.      Latar Belakang
Pelaksanaan kritik matan hadist pada tataran teori mudah tercapai persamaan pendapat, seperti parameter (tolok ukur) guna menduga kepalsuan hadist. Akan tetapi pada praktek penerapan secara parsial, unit hadis demi unit hadis, hampir pasti terjadi perbedaan hasil penilaian. Keseenjngan hasil verivikasi itu semakin mencolok apabila menimpa matan hadis yang telah beroleh pengakuan perihal keshahihn hadis.
Dari pengamatan sepintas ditengarai bahwa dimensi kritik matan hadis sangat bervariasi, karenanya kadar akurasi hasil penelitian tidak hanya ditentukan oleh tolak ukur (mi'yar atau miqyas) yang dioperasionalkan, melainkan sangat dipengaruhi oleh ketepatan aplikasi metodologisnya apabila malakah (keterampilan ) kritik matan hadis selama ini melibatkan figur-figur mujtahid dan polemik argumentasi yang mewarnainya sarat dengan kaidah ijtihadi. Maka sudah seharusnya kegiatan mengaplikasikan metode kritik matan hadis dipandang sebagai aktivitas ijtihad dan padanya berlaku sift spekulasi hasil yang dicapai.

B.    Pengertian Al-Jarh Wa At-ta'dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan bentuk  mashdar dari kata  yang berarti 'seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.
Secara Terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya.
Kemudian, pengerttian al-adl secara etimologi berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus. Orang adil berarti orang yang diterima kesaksiannya.
Adapun secara terminologi, Al-adl berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.
Dengan demekian, Ilmu Al-jarh wa at-ta'dil berarti

Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-ta'dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.[1]
  
C. Kegunaan Al-Jarh Wa At-ta'dil
Ilmu Al-Jarh Wa At-ta'dil berguna untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi.
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu). Dengan mengetahui ilmu ini kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis shahih, hasan, ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya[2]


 D. Latar Belakang Pentingnya Ilmu Al-Jarh wa At-ta'dil
Para ulama sadar sepenuhnya bahwa menunjukkan aib (cacat) orang lain itu dilarang oleh agama akan tetapi jika Al-Jarh ( kritik) tidak dilakukan maka bahaya yang timbul akan lebih besar dan hadis nabi tidak dapat diselamatkan.
Oleh karena itulah para ulama hadis memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Merekapun ber'ijma akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini. Al-Baghdadi mengutip penilaian Ibnul Mubarak atas kebohongan al-ma’la ibn Hilal. Kemudian seorang sufi menegurnya, “Hai Abu Abdir Rahman, mengapa engkau berbuat ghibah (memperlihatkan aib orang lain). Ibnul Mubarak menjawab, “kalau saya tidak menjelaskan, bagaimana mungkin dapat dipilah antara yang hak-dengan yang batil”.
Seandainya para tokoh kritikus rawi itu tidak mencurahkan segala perhatiaanya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para rawi, menguji hafalan dan kekuatan ingatannya, hingga untuk itu mereka tempuh rihlah yang panjang, menanggung kesulitan yang besar, mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap para rawi yang pendusta, yang lemah, dan kacau hafalannya, seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan menjadi kacau balaulah urusan islam, orang-orang zindiq akan berkuasa, dan para dajjal akan bermunculan.

D.      Sejarah Timbulnya Ilmu Al-Jarh wa At ta'dil
Kedudukan nabi sebagai public figur, terbuka asumsi untuk disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Loyalitas berkadar semu bisa mewarnai sikap sebagian sahabat beliau. Demikian pula setiap informasi mengenai tahapan pembinaan syari'ah versi hadist, kebijakan kepemimpinan dan pilihan sikap pribadi dalam menjalani kehidupan, tak luput dari reaksi umat untuk mengkritisnya.
Berikut ini disajikan gambaran singkat sejarah Al-Jarh wa at ta'dil, ditekankan pada format aktivitis kritik, objek kritik, dan kecenderungan pertimbangan hasilnya.
1.         Sejarah Al-jarh wa at-ta'dil dimasa nabi
Motif kritik pemberitaan hadist bercorak konfirmasi. Klarifikasi dan upaya memperoleh testimoni yang target akhirnya menhuji validitas keterpercayaan berita. Kritik bermotif konfirmasi, yakni upaya menjaga kebenaran dan keabsahan berita, antara lain terbaca pada kronologis kejadian yang diriwayatkan oleh abu Buraidhah tentang seorang pria yang tertolak pinangannya untuk mempersunting wanita Banu Laits.
Kritik bermotif klarifikasi, yakni penyelarasan dan mencari penjelasan lebih kongkrit, kemudian motif kritik lain menyerupai upaya testmoni yakni mengusahakan kesaksian dan pembuktian atas sesuatu yang tersinyalir diperbuat oleh nabi SAW. Dan motif kritik pemberitaan (matan hadist) untuk tujuan esensi faktanya dilaksanakan dengan tekhnik investigasi (penyelidikan) dilokasi kejadian, bertemu langsung dengan subjek narasumber berita serta melibatkan peran aktif pribadi nabi atau rasul SAW.

2.         Sejarah al-jarh wa at-ta'dil pada periode sahabat.
Proses transfer (Pengoperan) informasi hadist dikalangan sesama sahabat nabi cukup berbekal kewaspadaan terhadap kadar akurasi pemberitaan. Kesalahan tidak disengaja, salah mempersepsi fakta, dan kekeliruan bentuk lain karena gangguan indra pengamatan adalah hal yang manusiawi. Faktor luar yang diduga memperbesar kelemahan tersebut adalah : Kelangkaan naskah penghimpun notasi hadist, kurang tersosialisasinya aktifitas pencatatan hadist.
Skala kesalahan dalam proses pemberitaan hadist pada periode sahabat cepat terlokalisir dan tereleminir, karena adanya tradisi saling menegur dan mengingatkan.
Tradisi kritik esensi matan hadist dilingkungan sahabat, selain menerapkan kaidah muqaronah  antar riwayat berlaku juga kaidah mu'aradah. Metode muqaronah merupakan perbandingan antar riwayat dari sesama sahabat. Sedangkan metode mu'arodah merupakan pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadist, agar tetap terpelihara keselarasan antar konsep dengan hadist lain dan dengan dalil syari'at yang lain.
Jadi, Dapat disimpulkan bahwa metode kritik hadist pada periode sahabat ditekankan pada objek esensi matan hadist, dengan kaidah muqaronah antar riwayat dan mu;arodah. Pasca kritik tidak muncul reaksi negatif, hanya sekedar tawaquf (sadar) menerima kenyataan atau menerima koreksi pemberitaan. Dengan demikian mekanisme kritik lebih didasarkan pada tujuan meluruskan pemberitaan yang mempertaruhkan nabi atu rasul dan mengkondisikan wawasan keislaman yang ta'at asas.

3.     Sejrah Al-Jarh wa'at ta'dil pada periode muhaddisin
Fakta pemalsuan hadist-hadist palsu membangkitkan kesadaran muhaddisin  untuk melembagakan sanad sebagai alat kontrol periwayatan hadist sekaligus mencermati kecenderungan sikap keagamaan dan politik orang perorang yang menjadi mata rantai riwayat itu. Upaya mewaspadai hadist tersebut telah berlangsung pada periode kehidupan sahabat kecil, yakni mereka yang masih berada di tengah-tengah umat hingga sekitar tahun 70-80 Hijriah.
Dalam rangka mengimbangi pelembagaan sanad, maka lahirlah kegiatan Jarh ta'dil (mencermati kecacatan pribadi perawi dan keterpujiannya). Biodata pribadi periwayat hadist yang ditelusuri meliputi: Data kelahiran dan wafatnya, tempat tinggal, mobilitas dalam studi hadist, nama guru dan murid yang diasuh, penilaian kritikus tentang integritas keagamaan atau indikasi tersangkut paham bid'ah, kadar ketahanan hapalan dan bukti kepemilikan notasi hadist dan penetapan peringkat profesi kehadisannya. Kegiatan Jarh ta'dil menurut pengamatan Al-Dzahabi (w.784 H) telah melibatkan 715 kritikus.[3]

E.  Tingkatan –tingkatan Al- Jarh wa ta'dil
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang 'adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama' yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama' menetapkan tingkatan Jarh dan Ta'dil.
1.      Tingkatan-tingkatan  Al-Jarh
a.    Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla'fun (padanya ada kelemahan).
b.    Tingkatan kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : "Fulan tidak boleh dijadikan hujjah", atau "dla'if, atau "ia mempunyai hadits-hadits yang munkar", atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
c.    Tingkatan ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : "Fulan dla'if jiddan (dla'if sekali)", atau "tidak ditulis haditsnya", atau "tidak halal periwayatan darinya", atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma'in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
d.   Tingkatan ke empat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau "dituduh memalsukan hadits", atau "mencuri hadits", atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
e.    Tingkatan ke lima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla' (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla' (dia memalsikan hadits).
f.     Tingkatan ke Enam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : "Fulan orang yang paling pembohong", atau "ia adalah puncak dalam kedustaan", atau "dia rukun kedustaan".

Sedangkan tingkatan-tingkatan at-ta'dil adalah sebagai berikut:
a.       Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta'dil-an, atau dengan menggunakan wazan af'ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : "Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan" atau "Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya" atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya".
b.      Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-'adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma'mun), atau tsiqah dan hafidh.
c.       Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
d.      Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-'adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma'mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba'sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma'in kalimat laa ba'sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma'in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
e.       Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya 'anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
f.       Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).[4]

F.       Para Pakar dan Kitab-kitabnya
Para penulis kitab-kitab Al-Jarh wa ta'dil berbeda beda dalam menyusun buku-bukunya sebagian ada yang kecil, hanya terdiri satu jilid dan hanya menckup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar-besar yang mencakup antara 10-20 ribu rijalu sanad. Kitab-kitab itu antara lain :

1.      Ma'rifatur Rijal karya Yahya Ibnu Ma'in.
Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita, juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuschrift (tulisan tangan) berada di darul kutub Adh-dahiriyyah.
2.      Ad-dluafa' karya Imam Muhammd bin Ismail Al-Bukhari (194-252 H)
Kitb tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3.      At-tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al Busthi ( wafat tahun 304 H) perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawi karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta'dilannya. Naskah aslinya diketemukan di Darul Kutub Al Mishriyah, dengan tidak lengkap.
4.      Al-Jarhu wa Ta'dil karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar razi (240-326 H) ini merupakan kitab jarh wa ta'dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan ayng sangat besar kaidahnya. Kitab itu terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 1850 orang rawi. Pada tahun 1373 H kitan itu dicetak di India menjadi 9 jilid.
5.      Mizanul I'tidal karya Imam Syamsudin Muhammad Adz- zarabi ( 673-748 H) kitab itu terdiri dari 3 jilid setiap rawi biarpun rawi tsiqah diterangkan dan dikemukakan hadisnya sebuah atau beberapa buah yang munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan cetakan yang terkhir di cetak di Mesir
pada tahun 1325 H. Dan terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang rijalus sanad.
6.      Lisanul Mizan, karya Al-Hafidh ibnu Hajar Al-Atsqalani (773-852 H) sudah mencakup isi kitab mizanul i'tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab itu memuat 14.343 orang rijalus sanad. Ia dicetak di Indiapada tahun 1329-1331 H dalam 6 jilid.[5]



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dengan berdasasrkan keterangan di atas dapat kami simpulkan:
Pengertian al-jarh wa at ta'dil adalah Ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Al-Jarh Wa At-ta'dil berguna untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi. Seandainya para tokoh kritikus rawi itu tidak mencurahkan segala perhatiaanya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para rawi, menguji hafalan dan kekuatan ingatannya, seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan menjadi kacau balaulah urusan islam, orang-orang zindiq akan berkuasa, dan para dajjal akan bermunculan.
Sejarah timbulnya ilmu Al-Jarh wa at-ta'dil di bagi kepada tiga periode yaitu pada masa Nabi, pada masa sahabat dan pada masa muhaddisin. Tingkatan-tingkatan al-jarh wa ta'dil masing-masing terbagi kepada 6 macam yang bisa di baca di atas. Adapun para pakar dan kitab-kitabjarh wa ta'dil adalah Ma'rifatur Rijal karya Yahya Ibnu Ma'in, Ad-dluafa' karya Imam Muhammd bin Ismail Al-Bukhari, At-tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al Busthi, Al-Jarhu wa Ta'dil karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar razi, Mizanul I'tidal karya Imam Syamsudin Muhammad Adz- zarabi dan Lisanul Mizan, karya Al-Hafidh ibnu Hajar Al-Atsqalani.
A.      Saran
Bagi para pembaca apabila terdapat kesalahan di dalam makalah ini kami penulis mengharapkan partisipasinya untuk memberikan kritik dan saran yang membangun guna terciptanya makalah yang lebih baik lagi.





     [1] Drs. M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2009) hal. 157-158
     [2] Drs. M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis....................hal. 159
     [3]Drs. Haasjim Abbas, Kritik matan hadist. ( Jogjakarta:Teras, 2004), hal: 22-35  
     [4] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/tingkatan-tingkatan-al-jarh-wat-ta'dil/

     [5] Drs. M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis.........hal.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar