Selasa, 24 Juni 2014

warisan



PEMBAHASAN
Kata faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhatun, diambil dari kata fardhu yang mempunyai arti “ketentuan”. Allah SWT berfirman (dengan menggunakan kata faradha yang bermakna ketentuan):
ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HÇËÌÐÈ  
Artinya : “….maka bayarlah separuh mas kawin yang telah kau tentukan.” (Q.S. Al-Baqarah:237)
Kata fardhu menurut istilah syara’ adalah bagian yang ditentukan untuk orang yang berhak sesuai dengan ajaran syara’.[1]
1.        Hadits pertama

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِم. متفق عليهَ
Artinya:
Dari Usamah bin Zaid radliallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang Kafir tidak mewarisi orang muslim."
Kata “Muslim”  pada awal hadis menjadi subjek dan kata “kafir” menjadi objek. Kebanyakan ulama berpendapat sebagaimana nash hadis tersebut. Sementara Mu’az, Mu’awiyah, Masruq, Sa’id al-Musayyib, Ibrahim an-Nakhai, Ishaq, al-Imamiyyah dan an-Nashir berpendapat bahwa orang muslim mewarisi harta orang kafir , tapi tidak sebaliknya.
Mu’az berhujjah bahwa dia pernah mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda “islam itu bertambah dan tidak berkurang”, diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh al-Hakim.
Musaddad meriwayatkan bahwa dia pernah melihat dua orang muslim dan seorang yahudi yang berselisih minta penyelesaian kepada Mu’adz tentang masalah warisan sepeninggal ayahnya yang beragama yahudi; sebab semua warisan itu diambil oleh anaknya yang beragama yahudi. Lalu Mu’adz menghakimi dan memberikan warisan kepada yang muslim.
Ibnu abi Syaibah meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Ma’qal berkata “ sungguh aku tidak pernah melihat keputusan tentang warisan yang lebih bagus dari apa yang telah dilakukan oleh Mu’awwiyah. Ia memberikan warisan kepada seorang muslim padahal yang meninggal ahli kitab, tapi mereka tidak bisa mewarisi dari kami yang muslim.
Jumhur ulama membantah semua hujjah tersebut dengan mengatakan bahwa hadis yang disepakati keshahihannya menegaskan tentang larangan mewarisi harta waris non muslim. Sementara hadis yang bersumber dari Mu’adz bukan merupakan dalil yang mengistimewakan seorang muslim atas yang lainnya, melainkan sebagai pemberitahuan bahwa  agama islam lebih utama dari pada agama yang lainnya. Karena islam adalah agama yang senantiasa bertambah buka berkurang.[2]
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.[3]
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.


2.      Hadist kedua

وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه فِي بِنْتٍ , وَبِنْتِ اِبْنٍ , وَأُخْتٍ - ( قَضَى اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِلِابْنَةِ اَلنِّصْفَ , وَلِابْنَةِ اَلِابْنِ اَلسُّدُسَ - تَكْمِلَةَ اَلثُّلُثَيْنِ- وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Artinya :
“Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan -Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan: untuk anak perempuan setengah, cucu perempuan seperenam -sebagai penyempurna dua pertiga- dan selebihnya adalah milik saudara perempuan.” (Riwayat Bukhari)
Hadis ini menerangkan, bahwa bila terkumpul antara saudara perempuan, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki si mayit, maka saudara perempuan menjadi ashabah. Hal ini sudah disepakati, apabila saudara-saudara perempuan berkumpul dengan anak-anak perempuan maka kedudukannya menjadi ashabah.[4]
2.      Hadits ketiga
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْروٍ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ.
Artinya :
Abdullah bin 'Amr, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pemeluk dua agama yang berbeda tidak saling mewarisi."
Hadis ini menunjukkan bahwa tidak bisa saling mewarisi antara penganut agama yang berbeda dengan orang kafir, atau antara islam dengan kafir. Jumhur ulama berpendapat  kafir (non muslim). Maka hadis ini sejalan dengan hadis nabi yang menyatakan bahwa  “orang muslim tidak mewarisi orang kafir”. Mereka menambahkan, adapun selain agama islam mereka bisa saling mewarisi walaupun berbeda-beda, berdasarkan ketetapan islam.
Hanya imam al-Auza’i yang tidak sependapat dengan jumhur ulama. Ia berpendapat bahwa orang yahudi tidak mewarisi harta orang nasrani, begitu juga sebaliknya. Pendapat al-Auza’i ini sejalan dengan makna dzahir hadis tersebut, maka inilah yang menjadi pendapat mazhab al-Hadawiyyah.
Hadis tersebut mentakhshis ketetapan hukum yang terdapat dalam firman allah swt:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ...( ÇÊÊÈ  
       “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”. (qs. An-nisa. 11)
             Ayat ini umum berlaku untuk semua anak-anak, lalu dikecualikan anak-anak yang beragama kafir, karena dia tidak mewarisi harta dari bapaknya yang beragama islam. Artinya hukum dalam al-qur’an di takhsis dengan hadis ahad.[5]
3.        Hadits keempat
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَينٍ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ( إِنَّ اِبْنَ اِبْنِي مَاتَ , فَمَا لِي مِنْ مِيرَاثِهِ ? فَقَالَ : لَكَ اَلسُّدُسُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: لَكَ سُدُسٌ آخَرُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ : إِنَّ اَلسُّدُسَ اَلْآخَرَ طُعْمَةٌ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ , وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَهُوَ مِنْ رِوَايَةِ اَلْحَسَنِ اَلْبَصْرِيِّ عَنْ عِمْرَانَ , وَقِيلَ : إِنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ 
Artinya : dari Al Hasan dari Imran bin Hushain, bahwa seorang laki-laki telah datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; sesungguhnya cucu laki-laki saya meninggal, maka berapakah warisan untuk saya? Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Engkau mendapatkan seperenam." Kemudian tatkala laki-laki tersebut pergi beliau berkata: "Engkau mendapat seperenam yang lain." Kemudian tatkala orang tersebut pergi beliau berkata: "Seperenam yang lain adalah makanan."
Qatadah berkata, “saya tidak tahu bagaimana sistem warisannya, lalu ia menambahkan, “setidaknya kakek tadi mendapatkan bagian 1/6, gambaran masalah ini: apabila si mayit meninggal dunia anak perempuan dan si penanya tadi adalah kakeknya sendiri, maka dua anak perempuan mendapatkan bagian 2/3 dan tersisa 1/3, lalu Nabi memberikan 1/6 bagian yang menjadi haknya, dan tidak lamgsung memberikan 1/6 lainnya agar tidak dianggap bahwa bagiannya adalah 1/3, melainkan nabi membiarkan dia berpaling; maksudnya pergi meninggalkannya, baru kemudian dipanggil dan diberitahu: bahwa kakek tadi mendapatkan 1/6 lagi, yaitu sisa warisan. Ketika dia hendak pergi lagi, Nabi memanggilnya dan bersabda, “ yang 1/6 lagi itu adalah rezakimu, yaitu tambahan bagi yang harus diterimanya. Nabi melakukan hal seperti itu untuk memberitahukan bagian yang 1/6 lagi itu adalah tambahan atas bagian yang semesti nya dia terima, maka si kakek tadi mendapatkan bagian 1/6 haknya dan 1/6 lagi sebagai ashabah.[6]


4.        Hadits kelima
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيرَاثِ شَيْءٌ) رَوَاهُ النَّسَائِيُّ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَقَوَّاهُ اِبْنُ عَبْدِ اَلْبَرِّ, وَأَعَلَّهُ النَّسَائِيُّ, وَالصَّوَابُ: وَقْفُهُ عَلَى عُمَرَ
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Pembunuh tidak mendapat warisan apapun (dari yang dibunuh)." Riwayat Nasa'i dan Daruquthni, dan dikuatkan oleh Abdul Bar. Hadits ma'lul menurut Nasa'i dan sebenarnya hadits ini mauquf pada Amar.
Imam Syafi’i , Abu Hanifah dan penguikutnya serta kebanyakan para ulama berpendapat bahwa si pembunuh tidak mendapatkan warisan dan juga  bagian dari diyat, dengan tidak membedakan antara pembunuhan yang sengaja membunuh atau tidak. Sementara al-Hadawiyyah dan imam Malik berpendapat jika pembunuhan terjadi tidak sengaja maka dia masih mendapatkan warisan tapi tidak mendapatkan bagian diyat. Sedangkan tidak ada dalil yang menetapkan hukuman yang berbeda bagi pelaku pebunuhan dilihat dari aspek sebab musababnya.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Khallas, bahwa ada seorang laki-laki yang melemparkan batu , tapi terkena ibunya sendiri lalu meninggal dunia, orang tersebut tidak ingin mendapatkan warisan dari harta ibu tersebut maka saudara-saudaranya berkata “kamu tidak mempunyai hak lagi dari harta warisannya”. Akhirnya mereka pergi menemui Ali Ra. Meminta fatwa atas masalah yang mereka alami. Ali berkata “ kamu tidak boleh mendapatkan bagian dari harta warisannya”.[7]
Di antara sebab terhalangnya penerima harta waris adalah pembunuhan. Karena itu, maka pembunuh tidak bisa menerima harta waris (dari orang yang dibunuh), baik pembunuh terebut dilakukan sendiri atau dengan menyuruh orang lain.
Sebagian ulama menyatakan bahwa aturan ini berlaku umum untuk semua bentuk pembunuhan, baik pembunuhan disengaja maupun tidak disengaja. Keterangan ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i.
Dari macam-macam pembunuhan tersebut, para madzhab berbeda pendapat pembunuhan mana yang menjadikan sebab seseorang terhalang mewarisi:
a.    Ulama Syafiiyyah : Bahwa semua pembunuhan secara mutlak menjadi terhalang. Baik langsung atau tidak langsung, baik ada alasan atau tidak ada alasan, baik sengaja atau tidak sengaja.
b.    Fuqaha’ aliran Hambaliyyah: berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang adalah pembunuhan sengaja, silap, mirip sengaja, tidak langsung dan dilakukan orang yang tidak berakal.
c.    Fuqaha’ Malikiyyah: berpendapat bahwa yang menghalangi seseorang mewarisi adalah pembunuhan sengaja,mirip sengaja dan tidak langsung.
d.   Fuqaha’ Hanafiyah : berpendapat bahwa pembunuhan yang dapat menjadi penghalang adalah pembunuhan sebagaimana yang diutarakan oleh Fuqaha’ Malikiyyah.
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadikan penghalang seseorang mewarisi adalah selain pembunuhan karena hak seperti algojo yang bertugas melaksanakan eksekusi keputusan hakim.[8]
Terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak kewarisan dari yang di bunuhnya, di sebabkan alasan-alasan berikut:
a.    Pembunuhan itu memutuskan silaturrahmi yang menjadi sebab adanya kewarisan, dengan terputusnya sebab tersebut maka terputus pula musababnya.
b.    Untuk mencegah seseorang mempercepat terjadinya proses pewarisan.
c.    Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yang di dalam istilah agama di sebut dengan perbuatan ma’siat, sedangkan hak kewarisan merupakan nikmat , maka dengan bsendirinya ma’siat tidak boleh di pergunakan sebagai suatu jaln untuk mendapatkan nikmat.




















[1] Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, jilid ke-2, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), h. 279
[2] Muhammad bin Ismail al-Amir Ash- Shan’ani, Subulussalam, (jakarta: Darus Sunnah, 2007), J.2, h. 570
[3] Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 24
[4]Muhammad bin Ismail al-Amir Ash- Shan’ani, Subulussalam, ... h.571
[5] Muhammad bin Ismail al-Amir Ash- Shan’ani, Subulussalam,... h.572
[6] Muhammad bin Ismail al-Amir Ash- Shan’ani, Subulussalam, ... h.575
[7] Muhammad bin Ismail al-Amir Ash- Shan’ani, Subulussalam, ... h.580
[8] Muhammad Muhyidin, Panduan Waris Empat Mazhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kauthar, 2006), h. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar