PEMBAHASAN
Kata
faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhatun, diambil dari
kata fardhu yang mempunyai arti “ketentuan”. Allah SWT berfirman (dengan
menggunakan kata faradha yang bermakna ketentuan):
ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HÇËÌÐÈ
Artinya
: “….maka bayarlah separuh mas kawin yang telah kau tentukan.” (Q.S.
Al-Baqarah:237)
Kata
fardhu menurut istilah syara’ adalah bagian yang ditentukan untuk orang
yang berhak sesuai dengan ajaran syara’.[1]
1.
Hadits
pertama
عَنْ
أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ
الْمُسْلِم. متفق عليهَ
Artinya:
” Dari
Usamah bin Zaid radliallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang Kafir tidak
mewarisi orang muslim."
Kata “Muslim”
pada awal hadis menjadi subjek dan kata “kafir” menjadi objek.
Kebanyakan ulama berpendapat sebagaimana nash hadis tersebut. Sementara Mu’az,
Mu’awiyah, Masruq, Sa’id al-Musayyib, Ibrahim an-Nakhai, Ishaq, al-Imamiyyah dan
an-Nashir berpendapat bahwa orang muslim mewarisi harta orang kafir , tapi
tidak sebaliknya.
Mu’az berhujjah bahwa dia pernah mendengar bahwa Rasulullah
saw bersabda “islam itu bertambah dan tidak berkurang”, diriwayatkan
oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh al-Hakim.
Musaddad meriwayatkan bahwa dia pernah melihat dua
orang muslim dan seorang yahudi yang berselisih minta penyelesaian kepada Mu’adz
tentang masalah warisan sepeninggal ayahnya yang beragama yahudi; sebab semua
warisan itu diambil oleh anaknya yang beragama yahudi. Lalu Mu’adz menghakimi
dan memberikan warisan kepada yang muslim.
Ibnu abi Syaibah meriwayatkan hadis dari Abdullah
bin Ma’qal berkata “ sungguh aku tidak pernah melihat keputusan tentang warisan
yang lebih bagus dari apa yang telah dilakukan oleh Mu’awwiyah. Ia memberikan
warisan kepada seorang muslim padahal yang meninggal ahli kitab, tapi mereka
tidak bisa mewarisi dari kami yang muslim.
Jumhur ulama membantah semua hujjah tersebut dengan
mengatakan bahwa hadis yang disepakati keshahihannya menegaskan tentang
larangan mewarisi harta waris non muslim. Sementara hadis yang bersumber dari Mu’adz
bukan merupakan dalil yang mengistimewakan seorang muslim atas yang lainnya,
melainkan sebagai pemberitahuan bahwa
agama islam lebih utama dari pada agama yang lainnya. Karena islam
adalah agama yang senantiasa bertambah buka berkurang.[2]
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat
imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku
bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang
muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang
kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi
(unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi
sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari
Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan
bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad
tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan
pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah
tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah
murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur
ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah
murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari
ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir.
Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara
muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.[3]
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim
dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab
Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad
diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari
Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
2.
Hadist
kedua
وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه
فِي بِنْتٍ , وَبِنْتِ اِبْنٍ , وَأُخْتٍ - ( قَضَى اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم لِلِابْنَةِ اَلنِّصْفَ , وَلِابْنَةِ اَلِابْنِ اَلسُّدُسَ - تَكْمِلَةَ
اَلثُّلُثَيْنِ- وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Artinya :
“Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu
'anhu tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan dan saudara
perempuan -Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan: untuk anak perempuan
setengah, cucu perempuan seperenam -sebagai penyempurna dua pertiga- dan
selebihnya adalah milik saudara perempuan.” (Riwayat
Bukhari)
Hadis ini menerangkan, bahwa bila
terkumpul antara saudara perempuan, anak perempuan dan cucu perempuan dari anak
laki-laki si mayit, maka saudara perempuan menjadi ashabah. Hal ini sudah
disepakati, apabila saudara-saudara perempuan berkumpul dengan anak-anak
perempuan maka kedudukannya menjadi ashabah.[4]
2. Hadits ketiga
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْروٍ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ.
Artinya
:
Abdullah
bin 'Amr, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Pemeluk dua agama yang berbeda tidak saling mewarisi."
Hadis
ini menunjukkan bahwa tidak bisa saling mewarisi antara penganut agama yang
berbeda dengan orang kafir, atau antara islam dengan kafir. Jumhur ulama
berpendapat kafir (non muslim). Maka
hadis ini sejalan dengan hadis nabi yang menyatakan bahwa “orang muslim tidak mewarisi orang kafir”. Mereka
menambahkan, adapun selain agama islam mereka bisa saling mewarisi walaupun
berbeda-beda, berdasarkan ketetapan islam.
Hanya
imam al-Auza’i yang tidak sependapat dengan jumhur ulama. Ia berpendapat bahwa
orang yahudi tidak mewarisi harta orang nasrani, begitu juga sebaliknya. Pendapat
al-Auza’i ini sejalan dengan makna dzahir hadis tersebut, maka inilah yang
menjadi pendapat mazhab al-Hadawiyyah.
Hadis
tersebut mentakhshis ketetapan hukum yang terdapat dalam firman allah swt:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ...( ÇÊÊÈ
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu”. (qs.
An-nisa. 11)
Ayat ini umum berlaku untuk semua anak-anak,
lalu dikecualikan anak-anak yang beragama kafir, karena dia tidak mewarisi
harta dari bapaknya yang beragama islam. Artinya hukum dalam
al-qur’an di takhsis dengan hadis ahad.[5]
3.
Hadits
keempat
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَينٍ
قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ( إِنَّ
اِبْنَ اِبْنِي مَاتَ , فَمَا لِي مِنْ مِيرَاثِهِ ? فَقَالَ : لَكَ اَلسُّدُسُ
فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: لَكَ سُدُسٌ آخَرُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ
فَقَالَ : إِنَّ اَلسُّدُسَ اَلْآخَرَ طُعْمَةٌ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ
وَالْأَرْبَعَةُ , وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَهُوَ مِنْ رِوَايَةِ
اَلْحَسَنِ اَلْبَصْرِيِّ عَنْ عِمْرَانَ , وَقِيلَ : إِنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ
مِنْهُ
Artinya
: dari Al Hasan dari Imran bin Hushain, bahwa seorang laki-laki telah datang
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; sesungguhnya cucu
laki-laki saya meninggal, maka berapakah warisan untuk saya? Kemudian Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Engkau mendapatkan
seperenam." Kemudian tatkala laki-laki tersebut pergi beliau berkata:
"Engkau mendapat seperenam yang lain." Kemudian tatkala orang
tersebut pergi beliau berkata: "Seperenam yang lain adalah makanan."
Qatadah
berkata, “saya tidak tahu bagaimana sistem warisannya, lalu ia menambahkan,
“setidaknya kakek tadi mendapatkan bagian 1/6, gambaran masalah ini: apabila si
mayit meninggal dunia anak perempuan dan si penanya tadi adalah kakeknya
sendiri, maka dua anak perempuan mendapatkan bagian 2/3 dan tersisa 1/3, lalu
Nabi memberikan 1/6 bagian yang menjadi haknya, dan tidak lamgsung memberikan
1/6 lainnya agar tidak dianggap bahwa bagiannya adalah 1/3, melainkan nabi
membiarkan dia berpaling; maksudnya pergi meninggalkannya, baru kemudian
dipanggil dan diberitahu: bahwa kakek tadi mendapatkan 1/6 lagi, yaitu sisa
warisan. Ketika dia hendak pergi lagi, Nabi memanggilnya dan bersabda, “ yang
1/6 lagi itu adalah rezakimu, yaitu tambahan bagi yang harus diterimanya. Nabi
melakukan hal seperti itu untuk memberitahukan bagian yang 1/6 lagi itu adalah
tambahan atas bagian yang semesti nya dia terima, maka si kakek tadi
mendapatkan bagian 1/6 haknya dan 1/6 lagi sebagai ashabah.[6]
4.
Hadits
kelima
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم (لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيرَاثِ شَيْءٌ) رَوَاهُ
النَّسَائِيُّ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَقَوَّاهُ اِبْنُ عَبْدِ اَلْبَرِّ,
وَأَعَلَّهُ النَّسَائِيُّ, وَالصَّوَابُ: وَقْفُهُ عَلَى عُمَرَ
Dari
Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Pembunuh tidak mendapat warisan apapun (dari
yang dibunuh)." Riwayat Nasa'i dan Daruquthni, dan dikuatkan oleh Abdul
Bar. Hadits ma'lul menurut Nasa'i dan sebenarnya hadits ini mauquf pada Amar.
Imam
Syafi’i , Abu Hanifah dan penguikutnya serta
kebanyakan para ulama berpendapat bahwa si pembunuh tidak mendapatkan warisan
dan juga bagian dari diyat, dengan tidak
membedakan antara pembunuhan yang sengaja membunuh atau tidak. Sementara
al-Hadawiyyah dan imam Malik berpendapat jika pembunuhan terjadi tidak sengaja
maka dia masih mendapatkan warisan tapi tidak mendapatkan bagian diyat.
Sedangkan tidak ada dalil yang menetapkan hukuman yang berbeda bagi pelaku
pebunuhan dilihat dari aspek sebab musababnya.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Khallas, bahwa
ada seorang laki-laki yang melemparkan batu , tapi terkena ibunya sendiri lalu
meninggal dunia, orang tersebut tidak ingin mendapatkan warisan dari harta ibu
tersebut maka saudara-saudaranya berkata “kamu tidak mempunyai hak lagi dari
harta warisannya”. Akhirnya mereka pergi menemui Ali Ra. Meminta fatwa atas
masalah yang mereka alami. Ali berkata “ kamu tidak boleh mendapatkan bagian
dari harta warisannya”.[7]
Di
antara sebab terhalangnya penerima harta waris adalah pembunuhan. Karena itu,
maka pembunuh tidak bisa menerima harta waris (dari orang yang dibunuh), baik
pembunuh terebut dilakukan sendiri atau dengan menyuruh orang lain.
Sebagian
ulama menyatakan bahwa aturan ini berlaku umum untuk semua bentuk pembunuhan,
baik pembunuhan disengaja maupun tidak disengaja. Keterangan ini merupakan
pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i.
Dari
macam-macam pembunuhan tersebut, para madzhab berbeda pendapat pembunuhan mana
yang menjadikan sebab seseorang terhalang mewarisi:
a. Ulama
Syafiiyyah : Bahwa semua pembunuhan secara mutlak menjadi terhalang. Baik
langsung atau tidak langsung, baik ada alasan atau tidak ada alasan, baik
sengaja atau tidak sengaja.
b. Fuqaha’
aliran Hambaliyyah: berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang adalah
pembunuhan sengaja, silap, mirip sengaja, tidak langsung dan dilakukan orang
yang tidak berakal.
c. Fuqaha’
Malikiyyah: berpendapat bahwa yang menghalangi seseorang mewarisi adalah
pembunuhan sengaja,mirip sengaja dan tidak langsung.
d. Fuqaha’
Hanafiyah : berpendapat bahwa pembunuhan yang dapat menjadi penghalang adalah
pembunuhan sebagaimana yang diutarakan oleh Fuqaha’ Malikiyyah.
Jumhur
fuqaha’ berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadikan penghalang seseorang
mewarisi adalah selain pembunuhan karena hak seperti algojo yang bertugas
melaksanakan eksekusi keputusan hakim.[8]
Terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak kewarisan
dari yang di bunuhnya, di sebabkan alasan-alasan berikut:
a. Pembunuhan itu memutuskan silaturrahmi yang menjadi sebab
adanya kewarisan, dengan terputusnya sebab tersebut maka terputus pula musababnya.
b. Untuk mencegah seseorang mempercepat
terjadinya
proses
pewarisan.
c. Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yang di
dalam istilah agama di sebut dengan perbuatan ma’siat, sedangkan hak kewarisan
merupakan nikmat , maka dengan bsendirinya ma’siat tidak boleh di pergunakan
sebagai suatu jaln untuk mendapatkan nikmat.
[1] Taqiyuddin Abu Bakar
Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, jilid ke-2, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1997), h. 279
[2] Muhammad
bin Ismail al-Amir Ash- Shan’ani, Subulussalam, (jakarta: Darus Sunnah,
2007), J.2, h. 570
[3] Muhammad Ali
ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995), h. 24
[4]Muhammad
bin Ismail al-Amir Ash- Shan’ani, Subulussalam, ... h.571
Tidak ada komentar:
Posting Komentar